JAKARTA - Fenomena meningkatnya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara masif pada awal tahun ini mendorong lonjakan signifikan dalam pembayaran klaim Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan atau BP Jamsostek. Berdasarkan data terbaru, nilai pembayaran klaim JKP pada kuartal I-2025 melonjak tajam mencapai Rp 161,005 miliar, melibatkan sebanyak 35.493 kasus, atau meningkat 100,6% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Kondisi ini menjadi cerminan nyata atas tantangan yang sedang dihadapi sektor ketenagakerjaan nasional, khususnya dalam menjaga stabilitas pekerjaan dan memberikan jaring pengaman sosial bagi para pekerja yang kehilangan mata pencaharian.
Lonjakan Dua Kali Lipat Dibanding Tahun Lalu
Deputi Komunikasi BPJS Ketenagakerjaan, Oni Marbun, menjelaskan bahwa lonjakan klaim ini tidak terlepas dari banyaknya laporan PHK di berbagai sektor industri sepanjang tiga bulan pertama tahun ini.
"Total klaim JKP pada kuartal I-2025 mencapai Rp 161,005 miliar dengan jumlah kasus sebanyak 35.493. Ini menunjukkan kenaikan lebih dari dua kali lipat jika dibandingkan dengan kuartal I-2024. Artinya, tren PHK saat ini memang mengkhawatirkan dan berdampak langsung terhadap beban JKP," jelas Oni saat dikonfirmasi pada Selasa 6 Mei 2025.
Menurut Oni, BPJS Ketenagakerjaan telah menyiapkan langkah-langkah antisipatif agar program JKP tetap berjalan optimal di tengah naiknya klaim, dengan menjaga keberlangsungan dana dan memastikan pencairan manfaat berjalan lancar.
Penyebab Utama: PHK Massal
Maraknya PHK, menurut pengamatan BP Jamsostek, menjadi penyebab dominan dari kenaikan drastis jumlah klaim JKP. Banyak perusahaan yang terpaksa melakukan efisiensi operasional karena tekanan ekonomi global, perubahan model bisnis, hingga digitalisasi yang mengurangi kebutuhan tenaga kerja konvensional.
"Perusahaan di berbagai sektor, terutama manufaktur, ritel, dan teknologi, mengalami tekanan besar dalam menjaga biaya operasional. Akibatnya, langkah efisiensi berupa PHK menjadi pilihan, dan ini memicu klaim JKP melonjak," tambah Oni.
Tren ini selaras dengan laporan sejumlah asosiasi industri yang mencatat penurunan kapasitas produksi dan pelemahan permintaan pasar dalam negeri, yang berdampak pada keberlangsungan pekerjaan.
Apa Itu Program JKP?
Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) adalah salah satu program strategis dari BPJS Ketenagakerjaan yang mulai berlaku sejak 2022. Program ini bertujuan untuk memberikan perlindungan bagi pekerja yang mengalami PHK, dengan manfaat berupa uang tunai, akses informasi pasar kerja, dan pelatihan kerja guna meningkatkan daya saing tenaga kerja di pasar.
Peserta JKP berhak menerima manfaat selama maksimal 6 bulan setelah PHK, dengan besaran santunan yang ditentukan berdasarkan formula yang telah ditetapkan pemerintah.
Dengan meningkatnya jumlah klaim di kuartal I-2025, BPJS Ketenagakerjaan menegaskan kembali pentingnya peran program ini dalam menjaga stabilitas sosial-ekonomi masyarakat pekerja.
“Program JKP adalah bentuk nyata kehadiran negara dalam memastikan pekerja yang kehilangan pekerjaan tetap mendapatkan bantuan untuk bertahan hidup dan kembali ke pasar kerja,” ujar Oni.
Tantangan dan Antisipasi
Meskipun klaim JKP melonjak tajam, BPJS Ketenagakerjaan menyatakan bahwa dana cadangan program masih berada dalam batas aman. Namun, organisasi ini tetap melakukan evaluasi dan koordinasi dengan berbagai pemangku kepentingan untuk memastikan program tetap berkelanjutan jika tren PHK terus berlanjut.
“Secara umum, kondisi keuangan program masih terkendali. Namun, kami terus melakukan evaluasi menyeluruh untuk menjaga keberlanjutan dan efektivitas program JKP di tengah tantangan ketenagakerjaan yang dinamis,” jelas Oni.
BPJS Ketenagakerjaan juga mendorong perusahaan untuk lebih proaktif dalam melaporkan perubahan status ketenagakerjaan karyawan, agar klaim dapat diproses dengan cepat dan tepat.
Perlu Kolaborasi Multi-Pihak
Kenaikan jumlah klaim JKP turut menjadi sinyal kuat bagi pemerintah, pengusaha, dan pemangku kepentingan lainnya untuk memperkuat sinergi dalam menahan laju PHK, meningkatkan upaya pelatihan ulang (reskilling) tenaga kerja, serta menciptakan peluang kerja baru.
“Tidak bisa hanya BPJS Ketenagakerjaan yang bekerja sendiri. Pemerintah pusat dan daerah harus memperkuat koordinasi dengan dunia usaha dan lembaga pelatihan kerja agar para pekerja yang terkena PHK bisa kembali produktif dalam waktu singkat,” tegas Oni.
Ia menambahkan bahwa ke depannya, pendekatan berbasis teknologi dan data akan semakin diperkuat dalam pelaksanaan program JKP agar bantuan dapat disalurkan lebih tepat sasaran.
Peluang di Balik Krisis
Di balik kenaikan klaim yang mencerminkan kondisi sulit, BPJS Ketenagakerjaan melihat adanya peluang untuk mempercepat transformasi ekosistem ketenagakerjaan nasional.
“Kita perlu melihat ini bukan hanya sebagai beban, tetapi juga sebagai momentum untuk melakukan reformasi sistem ketenagakerjaan. Pelatihan kerja, akses informasi lowongan yang lebih luas, serta perlindungan sosial yang komprehensif harus menjadi prioritas bersama,” tutup Oni.
Lonjakan klaim JKP BPJS Ketenagakerjaan hingga Rp 161,005 miliar pada kuartal I-2025 menyoroti tantangan serius yang tengah dihadapi sektor ketenagakerjaan nasional, utamanya akibat maraknya PHK. Program JKP menjadi instrumen penting dalam melindungi pekerja terdampak, namun ke depan dibutuhkan sinergi kuat dari semua pihak untuk menjaga keberlanjutan program dan menciptakan pasar kerja yang lebih resilien dan inklusif.